Senin, 15 Desember 2008

PENANGANAN LUMPUR

Saat ini, lumpur yang menyembur dari sumur milik Lapindo Brantas itu telah menggenangi lahan 168 hektare atau seluas lebih dari 220 lapangan sepak bola. Sedangkan tinggi genangan lumpur di pusat semburan sudah 10 meter. Di sekitarnya telah dibangun tanggul setinggi 7 meter.

Edy menjelaskan kasus terbentuknya gunung lumpur di Indonesia ini bukan yang pertama. Gunung Anyar di perbatasan Surabaya-Sidoarjo juga terbentuk akibat semburan lumpur. Di Kuwu, Purwodadi, dan di Sangiran, Jawa Tengah, semburan lumpur bahkan terus keluar hingga sekarang.

Fenomena itu, kata Edy, terjadi karena struktur lumpur Porong sama dengan Gunung Anyar. “Lumpur Gunung Anyar keluar karena proses alam. Di Porong, faktanya, lumpur tidak keluar dari sumur eksplorasi,” katanya.

Dia mengatakan kesamaan struktur lumpur juga diperkuat adanya kesamaan geologis. “Di bawah Porong hingga Gunung Anyar ada semacam tangki besar seperti gorong-gorong yang luasnya 200 kilometer persegi dengan ketebalan 4-5 kilometer. Lumpur keluar dari tangki tersebut,” ujar Edy.

Meski semburan lumpur itu secara geologis sulit disetop, Manajer Eksplorasi PT Lapindo Brantas Inc. Bambang Istadi optimistis bisa mengatasi semburan yang bersumber di sumur Banjar Panji-1 di Desa Renokenongo itu. “Kami masih yakin ini bisa diatasi Oktober nanti,” katanya.

Hanya, kata dia, langkah ini bisa dilakukan jika pusat semburan berada di sumur Banjar Panji-1. Sebaliknya, Bambang pesimistis kalau titik semburan lumpur berada di luar Banjar Panji-1. Untuk memastikannya, Lapindo baru bisa mengetahuinya September mendatang.

Mekky S. Jaya, ahli geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, mengungkapkan titik semburan tidak berasal dari zona tua, yang dulunya sudah ada, tapi dari zona rekahan baru akibat tekanan. Dia berharap Lapindo memperhitungkan proses penghentian semburan lumpur agar tidak menimbulkan semburan baru. ROHMAN TAUFIK

Panitia Khusus (Pansus) Dampak Luapan Lumpur Porong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo mengadakan pertemuan dengan Pansus Lumpur Panas Sidoarjo Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pertemuan bertujuan untuk berkoordinasi dan menyinkronkan kerjasama di antara kedua Pansus dalam mengawal dan memperjuangkan hak-hak warga korban dampak luapan lumpur Porong.

Pansus DPRD Kabupaten Sidoarjo diterima Wakil Ketua DPD Laode Ida yang didampingi Wakil Ketua Pansus DPD Luther Kombong dan para anggota, di antaranya Mahmud Ali Zain, Mardjito GA, dan I Wayan Sudirta, di lantai 8 Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/6).

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo yang juga pengarah Pansus DPRD Kabupaten Sidoarjo Jalaluddin Alham mengharapkan kedua Pansus berkoordinasi dan menyinkronkan kerjasama untuk menghindari friksi kepentingan dan perbedaan rekomendasi menyangkut isu yang sama. “Akibatnya, nanti akan adu kekuatan,” tukasnya.

Karena itulah, pimpinan DPRD Kabupaten Sidoarjo merekomendasikan kepada Pansus DPRD Kabupaten Sidoarjo untuk berkoordinasi selama melakukan kunjungan kerja ke Pansus DPD. Tujuannya, agar perjuangan Pansus DPRD Kabupaten Sidoarjo bersatu dengan perjuangan Pansus DPD.

“Bahasa sederhanya, kita ini debt collector masyarakat,” tukasnya. “Pansus DPRD Kabupaten Sidoarjo dan Pansus DPD bersatu mengeluarkan keputusan yang sama demi masyarakat.” Masa tugas Pansus DPRD Kabupaten Sidoarjo yang bertugas mengawal dan memperjuangkan hak-hak warga korban dampak luapan lumpur Porong akan berakhir tanggal 31 Desember 2007.

Ketua Pansus DPRD Kabupaten Sidoarjo Khoirul Anam menuturkan, sejak dibentuk ternyata Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) belum dibekali anggaran, kantor, dan kendaraan operasional. “Masalah ini langsung diutarakan BPLS sendiri ketika kami datang ke mereka. Gimana BPLS bisa bekerja?” tanyanya keheranan.

Akibatnya, BPLS belum memverifikasi sekitar 14.000 bidang bangunan dan tanah karena petugas-petugas Tim Verifikasi belum dibekali surat tugas. PT Lapindo Brantas baru membayar uang muka 20% untuk 321 bidang bangunan dan tanah dari 522 bidang yang terverifikasi.

Kedua pihak, baik DPD dan DPRD mendesakkan pemerintah untuk mengubah Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang mengatur ketentuan jual beli menjadi ganti rugi. Kelambanan penanganan luapan lumpur panas tidak terlepas dari kurang gregetnya BPLS mengatur sanksi kepada PT Lapindo Brantas tanpa disertai jaminan. ” Pasal 15 itu harus diubah, bukan jual beli,” jelasnya.

Karena istilah jual beli itu, PT Minarak Lapindo Jaya menambahkan persyaratan tanda tangan menjadi 15 tanda tangan kendati telah diverifikasi oleh Tim Verifikasi. PT Minarak Lapindo Jaya telah menyebarkan form untuk akta jual beli sesuai Perpres, padahal bidang bangunan dan tanah yang terdampak tidak berstatus jual beli melainkan ganti rugi. “Sampai sekarang kita tidak pernah mengutarakan jual beli.”

Di antaranya, warga terdampak harus menyertakan tanda tangan Kepala Kepolisian Resor (Polres); Kepala Badan Koordinasi Kabupaten (Bakorkab); Kepala Dinas Perizinan Kabupaten, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari); Camat. “Tak mungkin dilaksanakan masyarakat,” jelasnya.

Selain itu, waktu untuk memenuhi persyaratan tambahan akan bertambah. “Butuh waktu berapa lama?” Ia tidak meyakini akan terpenuhi perintah Presiden agar semua warga terdampak menerima uang muka 20% sebagai ganti rugi dalam sepuluh pekan sejak tanggal 1 Juli 2007 hingga 14 September 2007. “Tidak mungkin, sekarang saja verifikasinya masih tarik ulur tarik ulur.”

Celaknya, warga terdampak yang semula bersatu padu belakangan menjadi bercerai-berai. Ada anggota masyarakat yang menerima form ganti rugi versi BPLS, sebagian menolak, sebagian lain menerima ganti rugi, dan sebagian lagi meminta relokasi. Ia mencurigai, penyikapan masyarakat yang berbeda-beda disengaja PT Minarak Lapindo Jaya mengingat yang menduduki manajemen PT Minarak Lapindo Jaya kebanyakan developer-developer kawasan.

“Makanya, digembor-gemborkan Kawasan Sidoarjo Baru,” ujar Khoirul. Pihak yang kelak mengembangkan perumahan di KSB adalah PT Minarak Lapindo Jaya setelah warga terdampak menerima uang muka 20% sebagai ganti rugi.

Khoirul juga mengungkapkan, pihaknya banyak menerima keluhan bahwa surat Bank Indonesia (BI) yang meminta keringanan angsuran kredit kepada warga terdampak ternyata tidak diindahkan bank-bank pemberi kredit di Kabupaten Sidoarjo. Mereka malah mengancam, kalau kreditur tidak segera membayar dan melunasi angsuran kredit dalam kurun waktu yang telah ditentukan maka bank akan menyita bangunan dan tanah. “Masyarakat tambah resah di sana.”

Mahmud berkeyakinan tenggat waktu sepuluh pekan untuk membayar ganti rugi tidak akan terpenuhi. Alasannya, sistem kerja PT Minarak Lapindo Jaya tidak berubah sementara jumlah bidang yang akan diverifikasi mencapai 10.000 bidang. “Kadang-kadang satu hari hanya enam bidang. Bayangkan.” Kalau sistem kerja PT Minarak Lapindo Jaya tidak kunjung diperbaiki maka masyarakat yang tidak puas akan semakin bertambah lalu mendatangi Jakarta beramai-ramai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ledakan pipa gas

Ledakan pipa gas
api yang menyerupai lafad Allah

Pengikut